Budaya hajatan keriaan (jawa barat) atau resepsi di kalangan masyarakat umum sekarang ini terutama di pedesaan, menurut saya lebih kepada menarik modal yang yang sudah di sebar. Dalam arti kata lain menarik arisan... walaupun memang tidak ada suatu keharusan untuk mengembalikan, namun ada suatu perasaan berhutang kepada orang yang di undang manakala orang yang di undang tersebut telah mengadakan acara serupa sebelumnya dan telah menerima angpau dari si pengundang tadi. Jadi ada beban moral disana.
karpetbasah.blogspot.com
Untuk kata keriaan saya mempunyai catatan tersendiri : Keriaan mungkin maksudnya adalah kegembiraan (ria=senang, suka), namun pada kenyataannya untuk masyarakat yang berstatus ekonomi menengah ke atas akan berubah menjadi suatu ke"RIYA"an, dimana dalam arti katanya RIYA adalah suatu perbuatan yang di benci Allah karena konotasinya adalah sifat sombong dan takabur ingin di puji dan dianggap wah oleh orang lain.
Fenomena ini menjadi sebuah tradisi yang berkembang di masyarakat pedesaan pada umumnya, dimana bagi orang yang mempunyai anak kecil yang belum di sunat atau belum di nikahkan, mereka menjadikan pemberian angpau pada saat menghadiri undangan itu adalah sarana untuk menabung.
Lalu dimanakah letak pengertian sosial dalam berhubugan dengan masyarakat dan ibadah yang berhubungan dengan syari'at yang diajarkan oleh agama.
Dimana saya sebagai orang awam menilai bahwa :
1. Orang yang mengadakan resepsi entah itu sunatan, pernikahan, naik pangkat, kelulusan, wisuda, atau apapun namanya biasanya adalah pengejawantahkan dari rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan dengan niat iklas mengundang orang untuk ikut merasakan kebahagian itu dengan cara memberikan makanan atau kebahagian yang lainnya dengan tidak mengharap pemberian cendera mata atau sejenisnya dari para undangan.
2. Dan untuk yang menghadiri undangan, terkadang memberikan sesuatu, kalau bentuknya berupa barang mungkin akan menjadikan suatu kenangan atau pengingat oleh tuan rumah. Namun kalau bentuknya berupa amplop berisi uang, saya belum mengerti maksudnya.
Dan konyolnya lagi, dulu sempat pernah menjadi tren pada masanya dalam setiap undangan yang disebar ada terselip sebuah kalimat :
"Dengan tidak mengurangi rasa hormat kami, mohon apabila hadiah yang diberikan tidak dalam bentuk cindera mata, kado atau karangan bunga"
Dan tak jarang pula kita menemui ucapan atau ungkapan dari orang yang menerima undangan :
" Waduh, dulu dia kondangan berapa ya? Harus ngembaliin nih!
" Ah, dulu anak yang pertama nikahan kita udah kondangan... Masa sekarang udah kondangan lagi... Kita aja belum ngapa-napain!
Di kampung tempat sekarang ini saya tinggal, dulu mungkin disetiap lingkungan kalau akan mengadakan acara resepsi pernikahan atau sunatan serasa ada koordinasi giliran dari perangkat pemerintahan entah itu tongkat RT, RW bahkan Kelurahan, jadi tidak akan ditemukan dalam satu lingkungan yang berdekatan ada lebih dari satu acara resepsi di hari yang sama.
Tapi saat ini, dari gang rumah saya ke jalan raya yang jaraknya kurang lebih 2 KM dimana terdapat gang - gang pemukiman berhiaskan janur-janur yang menunjukan tempat nikahan atau sunatan. Belum lagi di gang rumah saya sendiri ada 2 janur.
Terkadang ada suatu perasaan enggan untuk menerima surat undangan ini, karena dalam satu minggu di rumah ada 4 - 5 undangan belum lagi di kantor... Hehe.
Fenomena ini sering kita temui di bulan haji (rayagung/dzulhizah), hampir setiap hari di setiap gang atau sisi jalan terutama pada hari Sabtu atau Minggu akan terlihat janur-janur yang menunjukan ada pesta entah itu pernikahan atau sunatan. padahal Islam sendiri mengajarkan kalau hari baik dan bulan baik itu ada di setiap hari dan di setiap bulan dan entah darimana asalnya tradisi dan budaya seperti ini bahwa di bulan Dzulhijah adalah bulan yang baik untuk melaksanakan sebuah acara sakral seperti ini.
Ada satu lagi kejadian yang membuat saya tersenyum sendiri, dimana ada seorang yang rajin menghadiri undangan entah itu sunatan atau pernikahan, namun dia tidak memiliki anak atau keturunan yang dapat memungkinkan dia mengadakan suatu acara semacam itu, maka setelah dia hitung-hitung berapa banyak dia telah menyumbang,di adakanlah acara "Muludan" acara memperingati hari kelahiran (Maulid) nabi Muhammad SAW. Halah... fenomena apalagi ini...?
Dimana ditempat saya tinggal sekarang ini sudah menjadi tradisi turun temurun bila akan mengadakan suatu acara resepsi syukuran pernikahan, sunatan, kelahiran, syukuran kelulusan atau apapun namanya pasti selalu mengadakan acara ini. Padahal sudah jelas-jelas pada jaman Rasulullah dan para sahabat tidak melakukannya.